Daruba – Sejarah bukan sekadar rentetan peristiwa yang telah berlalu, melainkan cermin identitas, fondasi harga diri, dan arah kompas bagi masa depan suatu bangsa atau daerah.
“Dalam konteks inilah, usulan pergantian nama Bandara Pitu Morotai menjadi Bandara Sultan Iskandar Muhammad Jabir Sjah, dan peninjauan ulang Hari Jadi Kabupaten Pulau Morotai (HJM), sesungguhnya merupakan langkah strategis, untuk meneguhkan kembali jati diri Morotai dalam peta sejarah Maluku Utara,,” ujar, Ketua Fraksi Kebangkitan Nurani Nasional (KNN) DPRD Pulau Morotai, Akbar Mangoda, kepada media ini Selasa (8/7).
Akbar, menjelaskan bahwa pihaknya telah membaca sebuah opini kritis yang ditulis oleh Arafik A. Rahman, seorang penulis yang selama ini dikenal tekun mengangkat tema sejarah lokal, di media online Terbitmalut.com dan tandaseru.com beberapa waktu lalu. Dalam tulisannya, ia menegaskan bahwa memperjuangkan identitas sejarah bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan wujud rasionalitas politik dan sosial yang bertanggung jawab.
“Pikiran ini sepenuhnya kami pandang logis dan sejalan dengan semangat Fraksi KNN, DPRD Pulau Morotai. Dengan dasar ini maka fraksi kami telah lebih dahulu menyatakan dukungan, atas pergantian nama bandara,” ungkap Akbar.
Akbar, mengatakan tidak ada yang keliru jika kita menempatkan nama Sultan Iskandar Muhammad Jabir Sjah, seorang pemimpin yang jejak perjuangannya di Morotai begitu nyata, sebagai simbol kebesaran dan penghormatan di bandara kebanggaan kita. Justru ini adalah bentuk penghargaan terhadap warisan kepemimpinan, yang membela kepentingan masyarakat sekaligus membangun wilayah ini.
“Hal ini sebagaimana diungkap oleh ahli sejarah terkemuka, Eric Hobsbawm, dalam The Invention of Tradition (1983) “Tradition which appears or claims to be old is often quite recent in origin and sometimes invented. Yet it plays a crucial role in shaping social cohesion and political legitimacy, artinya “Tradisi yang tampak atau mengaku tua sering kali justru baru diciptakan, namun tradisi semacam ini memainkan peran penting dalam membentuk kohesi sosial dan legitimasi politik,” pungkasnya.
Lanjut, Akbar, pernyataan Hobsbawm ini menegaskan, legitimasi politik daerahnya juga dibangun melalui rekonstruksi tradisi dan sejarah. Inilah dasar kenapa pergantian nama bandara bukan semata-mata soal nama, tetapi peneguhan identitas dan integritas Morotai di tengah dinamika geopolitik kawasan Pasifik.
“Selain itu, kami juga mengajukan usulan peninjauan kembali HJM, yang selama ini diperingati setiap 20 Maret. Berdasarkan telaah dokumen pemekaran, tanggal tersebut justru keliru secara historis. Fakta menunjukkan, 20 Maret 2008 tidak memuat peristiwa heroik apa pun dalam perjalanan pemekaran Morotai,” terang Akbar.
Akbar, menegaskan bahwa penetapan Morotai sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) berdasarkan telaah Dokumen, ini ditetapkan pada 29 Oktober 2008 oleh Komisi II DPR RI, serta penandatanganan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 2008 pada 26 September 2008. Meski begitu momentum paling monumental justru terjadi pada 2 November 2006, saat deklarasi pemekaran diselenggarakan oleh seluruh tokoh masyarakat di Taman Kota Daruba, sebagaimana tercatat dalam buku ‘”Perang Pasifik, Pemekaran dan Pembangunan” karya Arafik A Rahman, 2022.
“Atas dasar itulah, kami menyerukan agar DPRD, Bupati dan Wakil Bupati, unsur Muspida, tokoh adat, tokoh pemuda, teman-teman Cipayung Plus, hingga seluruh elemen masyarakat bergandeng tangan menyokong penuh agenda koreksi sejarah ini. Fraksi kami juga mendorong Baginda Sultan Ternate dan Gubernur Maluku Utara, untuk duduk bersama TNI AU, membuka ruang diskusi terkait pergantian nama bandara, demi kehormatan dan marwah daerah,” bebernya.
Kami bahkan menyarankan pembentukan Tim Akademisi Independen untuk meneliti ulang sejarah Morotai secara komprehensif, berbasis dokumen primer yang sahih. Jika memang ditemukan kesalahan, maka sudah semestinya hari jadi Morotai diralat dan disahkan secara resmi demi generasi yang akan datang.
Akbar menambahkan bahwa pihaknya percaya, politik sejatinya bukan sekadar urusan kekuasaan, melainkan seni merawat identitas, merajut rekonsiliasi dan menata masa depan. Maka, dalam soal ini, mari kita hilangkan ego sektoral dan berdiri bersama di atas kesadaran sejarah yang benar. Yang tak menempatkan sejarah pada tempatnya, tak akan pernah memahami ke mana arah masa depan yang hendak dituju.
Fraksi KNN DPRD Pulau Morotai, berdiri di garda depan untuk mendorong agenda ini dan kami percaya, Morotai akan semakin bermartabat bila sejarahnya diletakkan di altar yang tepat. Sejarah bukan untuk disembunyikan dalam lemari masa lalu, melainkan untuk disandingkan di ruang tamu masa depan, agar generasi baru tahu di mana kaki mereka berpijak dan ke mana hati mereka melangkah,” tutup Akbar.