Ternate – Sorotan menjelang pelaksanaan Indonesia City Sanitation Summit (ICCS), sebuah agenda nasional yang mengusung isu lingkungan hidup, sanitasi, dan pengelolaan sampah. Ironisnya, ketika daerah-daerah lain mulai berbenah dengan berbagai inovasi ramah lingkungan, Ternate justru masih terjebak dalam praktik lama, yakni sistem open dumping di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Padahal, praktik open dumping telah tegas dilarang dalam berbagai regulasi nasional. Diantaranya yakni Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, jelas menyatakan bahwa sistem ini tidak lagi boleh diterapkan karena menimbulkan pencemaran, kerusakan lingkungan, hingga dampak kesehatan masyarakat.
Larangan tersebut kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor. 81 Tahun 2012, yang mengamanatkan pengelolaan sampah berbasis reduce, reuse, recycle (3R) dan peningkatan kualitas TPA menuju sistem sanitary landfill, atau teknologi lebih ramah lingkungan.
Lebih jauh, Pasal 29 UU Nomor. 18 tahun 2008, menegaskan bahwa setiap pemerintah daerah wajib melakukan penutupan TPA yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lambat tahun 2013. Artinya, sudah lebih dari satu dekade Ternate melanggar tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang.
Pertanyaan besar pun muncul:
• Mengapa Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Ternate, masih membiarkan sistem open dumping berjalan?
• Di mana komitmen pemerintah kota untuk menyesuaikan kebijakan dengan regulasi nasional?
• Apakah penghargaan yang pernah diraih Ternate, di sektor lingkungan hanya sekadar seremoni tanpa implementasi nyata?
Dalam praktiknya, open dumping bukan hanya persoalan teknis, melainkan potensi pelanggaran hukum. Sampah yang dibiarkan menumpuk tanpa pengolahan memadai dapat mencemari tanah, air, dan udara, memicu bau menyengat, gas metana yang berbahaya, hingga risiko kebakaran lahan TPA. Belum lagi ancaman kesehatan bagi masyarakat sekitar yang terpapar langsung.
Lebih menyedihkan lagi, hal ini terjadi saat Ternate justru menjadi tuan rumah agenda nasional tentang sanitasi dan lingkungan hidup. Bukankah ini bentuk paradoks? Kota yang seharusnya menjadi contoh, justru memperlihatkan wajah buram tata kelola sampah.
Masyarakat tentu berhak menuntut penjelasan dan pertanggungjawaban dari DLH Kota Ternate: apa langkah konkret yang sudah dan akan dilakukan untuk mengakhiri praktik open dumping?. Mengapa hingga hari ini tidak ada upaya serius menuju sanitary landfill atau teknologi pengolahan sampah modern, sebagaimana diamanatkan undang-undang?
Agenda ICCS di Ternate seharusnya tidak berhenti pada seremoni seminar, tetapi menjadi momentum koreksi keras atas kelalaian pemerintah kota. Karena pada akhirnya, isu pengelolaan sampah bukan sekadar soal citra lingkungan, tetapi menyangkut hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1).
Editor : Panji
Sumber Berita : TPA Takome