Ternate – Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Marhaenis (DPD GPM) Maluku Utara (Malut), menggelar aksi di depan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Malut. Aksi tersebut GPM menyoroti dugaan pelanggaran serius oleh sejumlah perusahan tambang, yang beroperasi di Pulau Gebe, Halmahera Tengah saat ini.
Pantauan media ini, Kamis (18/9), isu yang kemudian menjadi sorotan DPD GPM Malut pada aksi tersebut diantaranya yakni, Izin Usaha Pertambangan (IUP), pencemaran lingkungan, penyerobotan lahan warga, hingga absennya tanggung jawab CSR.
Ketua DPD GPM, Sartono Halek, dalam orasinya menegaskan bahwa aksi yang digelar dengan, guna menuntut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), untuk mencabut izin PT. Karya Wijaya, dikarenakan perusahan tersebut diduga tidak memiliki kelengkapan dokumen, termasuk rencana reklamasi dan pasca tambang.
“Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2020, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” pungkas Bung Tono sapaan akrab Sartono Halek.
Lanjut, Bung Tono, PT. Karya Wijaya juga dituding melakukan aktivitas tambang di pulau kecil. Padahal kita ketahui bersama bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor: 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), penambangan di pulau dengan luas kurang dari 2.000 km² dilarang.
“Selain itu larangan tersebut juga diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 35/PUU-XXI/2023. Sementara itu pembangunan jetty oleh perusahaan juga dinilai melanggar Pasal 16 ayat (2) UU Nomor: 27 Tahun 2007 yang telah diubah UU 6/2023,” beber Bung Tono.
Bung Tono, menjelaskan bahwa pelayanan pemerintah terhadap masyarakat adalah kewajiban konstitusional, yang harus dijalankan tanpa penyimpangan. Namun, ia menilai pemerintah daerah Maluku Utara, akhir-akhir ini kerap mendapat kritikan publik terkait persoalan pertambangan, lingkungan, dan dugaan korupsi yang tidak kunjung selesai.
Sementara itu DPD GPM juga menyoroti aktifitas PT. Anugra Sukses Mining (ASM) yang beroperasi di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, yang juga diduga banyak melakukan pelanggaran, dan berpotensi merusak lingkungan sekitar.
Olehnya itu, Bung Tono, meminta inspektur tambang agar segera melakukan inspeksi dan merekomendasikan pencabutan izin perusahaan, yang diduga melakukan pelanggaran yakni ketidaklengkapan dokumen, tidak adanya rencana reklamasi, dan potensi kerusakan lingkungan yang bisa mengganggu ekosistem, serta menurunkan hasil tangkapan nelayan setempat.
“Seperti PT. Karya Wijaya, lokasi operasi PT. ASM juga berada di pulau kecil, sehingga berpotensi melanggar UU PWP3K. Perusahaan ini memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Bupati Halmahera Tengah, pada tahun 2013 dengan masa berlaku hingga 2033, beroperasi di konsesi seluas 503 hektar,” ujar Bang Tono.
Lebih lanjut, Bung Tono, menyampaikan bahwa dugaan pelanggaran ini, juga diduga dilakukan oleh PT. Nusa Karya Arindo, yang beroperasi di Kabupaten Halmahera Timur (Haltim)
“Konsesi perusahaan seluas 20.763 hektar diduga digunakan untuk menambang tanpa izin resmi, menyerobot kawasan hutan dan abai terhadap kewajiban reklamasi. Aktivitas perusahaan tercatat merambah 250 hektar kawasan hutan, termasuk hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi konversi. Penyerobotan hutan lindung menjadi pelanggaran paling krusial,” terang Bung Tono.
Secara kelembagaan kata Bung Tono, DPD GPM menilai praktik PT. Nusa Karya Arindo, berpotensi melanggar UU Nomor: 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan dan UU Nomor: 3 Tahun 2020, tentang Minerba.
“Dengan demikian maka DPD GPM Malut, meminta dengan tegas kepada Kejaksaan Agung RI, agar menelusuri dugaan pelanggaran ini, serta mendesak kepada Kementerian ESDM, agar segera mencabut izin perusahaan. Selanjutnya Komisi XII DPR RI, juga kami minta agar segera melakukan inspeksi, terhadap aktivitas operasional perusahaan tambang di wilayah Maluku Utara,” tutup Bung Tono.
Editor : Panji
Sumber Berita : Ketua DPD GPM Malut